Malioboro street - Yogyakarta |
Jogja-ku, aku kembali..
Aku melangkah riang menyusuri setiap petak jalan Malioboro
ini. Sesekali mengusap peluhku karena matahari siang yang begitu terik ditambah
aku harus berdesakan dengan puluhan orang yang memadati jalan ini. Suasana
begitu gaduh dan riuh. Jerit klakson mobil, ringkikan kuda penarik delman, alunan
gamelan dari kaset yang diputar di salah satu toko, hingga teriakan pedagang
yang menjajakan mulai dari batik, kaos oblong, kerajinan tangan manik-manik, tato
permanen dan temporer, sampai gudeg berbaur menjadi satu. Tak ada yang
berubah sejak terakhir aku berada di sini. Sesekali kusapa beberapa pedagang yang
kukenal. Malioboro memang selalu ramai, tidak pernah sepi, sudut kota yang
tidak pernah tidur—seperti jalan Braga di Bandung*).
Kupererat genggamanku pada gadis kecil di sampingku. Akhirnya
setelah sekian lama gadis kecil ini mengenal kota asal ibunya, tempat pertemuanku dengan ayahnya pertama kali. Aku teringat telepon terakhir dari Ibuku yang
kuterima saat aku masih berada di Bandung. Beliau menangis memintaku pulang.
Kemarahan orang tuaku setelah kejadian itu mereda seiring berjalannya waktu.
Apalagi setelah bertemu dengan gadis kecil yang bersamaku ini. Tetapi tentu
saja mereka tetap belum memaafkan Dimas, lelaki tak bertanggungjawab yang
sekarang entah dimana. Padahal aku sudah sengaja menetap di Bandung, berharap
dapat bertemu dengannya lagi. Ah sudahlah, lebih baik aku melupakannya. Akan kuhabiskan seharian ini untuk bersenang-senang dengan gadis kecilku.
Aku berhenti di salah satu pedagang kerajinan tangan
manik-manik. Vania, gadis kecilku ingin dibuatkan gelang bertuliskan namanya.
Sambil menunggu gelang itu jadi, kami duduk melepas lelah di bangku kecil di
depan sebuah toko batik. Kupangku gadis kecilku yang asyik meneguk es dawet
yang kubelikan tadi. Aku memperhatikan sekelilingku. Di tengah ramainya
kerumunan orang, kutangkap gerakan mencurigakan. Tak jauh dari tempatku berada,
seorang lelaki muda berkacamata hitam dan berjaket hitam tampak sedang berbicara
dengan beberapa wanita yang sepertinya bukan orang Jogja. Selama berbicara,
sepintas kulihat tangannya bergerak cepat ke salah satu wanita di dekatnya.
Dalam sekejap sebuah dompet berpindah ke saku celananya.
Aku tertegun melihatnya. Memang tidak heran melihat copet di
tengah keramaian seperti sekarang ini. Tetapi bukan itu yang membuatku terpana.
Aku merasa mengenal pencopet itu.
Lelaki pencopet itu sepertinya sadar kalau kuperhatikan. Ia menatapku.
Lalu membuka kacamata hitamnya.
Kami pun sama-sama terpana…
***
Aku berdiri bersandar pada salah satu tiang, menatap
kerumunan orang yang memadati jalan ini. Mataku harus jeli mencari mangsa yang
tepat. Di akhir pekan ini Malioboro juga memberikan rezeki untukku. Dua jam
yang lalu, kudapatkan tiga ratus ribu dari seorang turis Jepang tua. Sebenarnya
aku juga sudah muak dengan pekerjaanku ini. Aku pun tak ingat sejak kapan
memulainya. Mungkin sejak pelarianku dari Bandung. Pelarianku dari Dinda.
Kunyalakan sebatang rokok dan menghembuskannya dalam-dalam. Mengingat
Dinda kembali menimbulkan perasaan bersalah dalam hatiku. Kudengar ia mencariku
dulu, tapi rasa pengecutku mengalahkanku. Mungkin akulah lelaki paling brengsek
di dunia ini.
Sekelompok wanita berjalan di depanku. Sepertinya mereka turis.
Ini kesempatanku. Aku berpura-pura terburu-buru dan menabrak mereka. Seperti
biasa, mereka langsung terpikat dengan wajahku dan kumanfaatkan situasi ini
untuk mengorek isi tas mereka.
Aku hampir berhasil, ketika mataku bertemu pandang dengan
seorang wanita tak jauh dari tempatku berada. Kuperhatikan ia lekat-lekat. Berharap
ada yang salah dengan penglihatanku..
***
Kutepuk-tepuk punggung Vania yang menangis dalam
gendonganku. Dia pasti terkejut melihat kelakuan ibunya yang histeris tadi. Di hadapanku Dimas masih diam menatap kami berdua. Pipinya masih
merah, bekas tamparanku beberapa saat yang lalu di tengah ramainya jalan Malioboro.
Wah keren, Ayu. Ga nyangka Dimasnya pencopet.
ReplyDeleteThanks Tantri ;))
ReplyDeleteYou're welcome, Yu
ReplyDelete