Pages

Tuesday, June 19, 2012

RAMAI

Malioboro street - Yogyakarta


Jogja-ku, aku kembali..

Aku melangkah riang menyusuri setiap petak jalan Malioboro ini. Sesekali mengusap peluhku karena matahari siang yang begitu terik ditambah aku harus berdesakan dengan puluhan orang yang memadati jalan ini. Suasana begitu gaduh dan riuh. Jerit klakson mobil, ringkikan kuda penarik delman, alunan gamelan dari kaset yang diputar di salah satu toko, hingga teriakan pedagang yang menjajakan mulai dari batik, kaos oblong, kerajinan tangan manik-manik, tato permanen dan temporer, sampai gudeg berbaur menjadi satu. Tak ada yang berubah sejak terakhir aku berada di sini. Sesekali kusapa beberapa pedagang yang kukenal. Malioboro memang selalu ramai, tidak pernah sepi, sudut kota yang tidak pernah tidur—seperti jalan Braga di Bandung*).


Kupererat genggamanku pada gadis kecil di sampingku. Akhirnya setelah sekian lama gadis kecil ini mengenal kota asal ibunya, tempat pertemuanku dengan ayahnya pertama kali. Aku teringat telepon terakhir dari Ibuku yang kuterima saat aku masih berada di Bandung. Beliau menangis memintaku pulang. Kemarahan orang tuaku setelah kejadian itu mereda seiring berjalannya waktu. Apalagi setelah bertemu dengan gadis kecil yang bersamaku ini. Tetapi tentu saja mereka tetap belum memaafkan Dimas, lelaki tak bertanggungjawab yang sekarang entah dimana. Padahal aku sudah sengaja menetap di Bandung, berharap dapat bertemu dengannya lagi. Ah sudahlah, lebih baik aku melupakannya. Akan kuhabiskan seharian ini untuk bersenang-senang dengan gadis kecilku.

Aku berhenti di salah satu pedagang kerajinan tangan manik-manik. Vania, gadis kecilku ingin dibuatkan gelang bertuliskan namanya. Sambil menunggu gelang itu jadi, kami duduk melepas lelah di bangku kecil di depan sebuah toko batik. Kupangku gadis kecilku yang asyik meneguk es dawet yang kubelikan tadi. Aku memperhatikan sekelilingku. Di tengah ramainya kerumunan orang, kutangkap gerakan mencurigakan. Tak jauh dari tempatku berada, seorang lelaki muda berkacamata hitam dan berjaket hitam tampak sedang berbicara dengan beberapa wanita yang sepertinya bukan orang Jogja. Selama berbicara, sepintas kulihat tangannya bergerak cepat ke salah satu wanita di dekatnya. Dalam sekejap sebuah dompet berpindah ke saku celananya.

Aku tertegun melihatnya. Memang tidak heran melihat copet di tengah keramaian seperti sekarang ini. Tetapi bukan itu yang membuatku terpana. Aku merasa mengenal pencopet itu.
Lelaki pencopet itu sepertinya sadar kalau kuperhatikan. Ia menatapku. Lalu membuka kacamata hitamnya.
Kami pun sama-sama terpana…

***

Aku berdiri bersandar pada salah satu tiang, menatap kerumunan orang yang memadati jalan ini. Mataku harus jeli mencari mangsa yang tepat. Di akhir pekan ini Malioboro juga memberikan rezeki untukku. Dua jam yang lalu, kudapatkan tiga ratus ribu dari seorang turis Jepang tua. Sebenarnya aku juga sudah muak dengan pekerjaanku ini. Aku pun tak ingat sejak kapan memulainya. Mungkin sejak pelarianku dari Bandung. Pelarianku dari Dinda.

Kunyalakan sebatang rokok dan menghembuskannya dalam-dalam. Mengingat Dinda kembali menimbulkan perasaan bersalah dalam hatiku. Kudengar ia mencariku dulu, tapi rasa pengecutku mengalahkanku. Mungkin akulah lelaki paling brengsek di dunia ini.

Sekelompok wanita berjalan di depanku. Sepertinya mereka turis. Ini kesempatanku. Aku berpura-pura terburu-buru dan menabrak mereka. Seperti biasa, mereka langsung terpikat dengan wajahku dan kumanfaatkan situasi ini untuk mengorek isi tas mereka.

Aku hampir berhasil, ketika mataku bertemu pandang dengan seorang wanita tak jauh dari tempatku berada. Kuperhatikan ia lekat-lekat. Berharap ada yang salah dengan penglihatanku..

***

Kutepuk-tepuk punggung Vania yang menangis dalam gendonganku. Dia pasti terkejut melihat kelakuan ibunya yang histeris tadi. Di hadapanku Dimas masih diam menatap kami berdua. Pipinya masih merah, bekas tamparanku beberapa saat yang lalu di tengah ramainya jalan Malioboro.


3 comments:

Leave your comment please.. thank you ;)