Pangandaran beach - West Java |
Aku pasti bermimpi..
Kembali kucubit-cubit lenganku berharap rasa sakitnya cepat
mengembalikanku pada kenyataan. Tapi ternyata aku mengaduh kesakitan karena
cubitanku sendiri. Lekas kutambatkan perahuku lalu kurapikan jaringku di dalamnya.
Aku tidak ingin melewatkan pemandangan indah ini.
Wanita-wanita cantik yang tak kutahu entah darimana
datangnya itu sedang bermain-main di pinggir pantai. Aku melirik ke sana-sini
berharap bukan hanya aku saja yang berniat untuk memperhatikan mereka
diam-diam. Namun suasana menjelang senja di pantai Pangandaran ini mendadak jadi sepi
sekali. Padahal biasanya banyak pengunjung yang menunggu sunset di pantai ini. Salah satu keistimewaan dari pantai Pangandaran ini adalah kita dapat melihat terbit dan tenggelamnya matahari dari satu tempat yang sama.
Aku mengendap-endap di belakang pohon kelapa besar di belakang wanita-wanita cantik itu berada. Kuhitung jumlahnya ternyata ada sembilan orang. Di antara mereka ada yang duduk-duduk dan berbaring di hamparan pasir putih, ada juga yang asik bermain air. Aku memandang mereka tak berkedip sambil bertanya-tanya. Siapa mereka dan darimana asalnya. Seingatku di kampung ini tidak ada wanita secantik mereka.
Aku mengendap-endap di belakang pohon kelapa besar di belakang wanita-wanita cantik itu berada. Kuhitung jumlahnya ternyata ada sembilan orang. Di antara mereka ada yang duduk-duduk dan berbaring di hamparan pasir putih, ada juga yang asik bermain air. Aku memandang mereka tak berkedip sambil bertanya-tanya. Siapa mereka dan darimana asalnya. Seingatku di kampung ini tidak ada wanita secantik mereka.
“Kang..”
Aku terlonjak kaget begitu ada yang menepuk bahuku dari
belakang. Aku menoleh. Kulihat seorang wanita yang jauh lebih cantik dari
wanita-wanita yang kulihat tadi. Ia memakai serba biru seperti warna air laut dari ujung kepala sampai
kakinya. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Mengintip kami ya? Dasar keturunan Jaka Tarub..” kata
wanita itu. Wajah cantiknya menunjukkan raut tak suka padaku.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
“Iya, kamu pasti keturunan Jaka Tarub yang senang mengintip
kami, bidadari-bidadari yang turun ke bumi untuk bermain-main.”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Namaku memang
Jaka, tapi bukan Jaka Tarub. Seingatku dalam silsilah keluargaku juga tak ada
yang bernama Jaka Tarub. Hei, apa katanya tadi.. Bidadari?
“Kalian.. bidadari?” Mataku mengerjap tak percaya.
Wanita di hadapanku mengangguk angkuh sambil memainkan
selendang birunya.
“Untung hanya aku saja yang memergokimu. Kalau kakak-kakakku
tahu, kamu pasti sudah disiksa mereka.” ketusnya.
Aku bergidik ngeri. Tak kubayangkan bagaimana bidadari-bidadari
itu jika menyiksa seorang manusia. Ternyata bidadari bisa kejam juga.
“Maafkan aku.. “
“Biru, namaku Biru..” Bidadari di depanku ini seolah dapat
membaca pikiranku.
“Maafkan aku Biru. Aku baru saja pulang melaut hari ini dan
kulihat ada sekelompok wanita cantik yang tak kutahu darimana asalnya. Aku
penasaran dengan kalian tapi sungguh aku tidak ada maksud jahat kok. Kumohon
jangan hukum aku..”
“Sstt.. jangan keras-keras.. nanti kakak-kakakku dengar. Ayo
sini, kita bicara di sana saja.”
Biru menarikku setengah berlari menjauhi pinggir pantai
tempat kakak-kakaknya berada. Tangannya yang lembut menggenggamku membuat
debaran aneh di dadaku. Aku sungguh terpesona dibuatnya.
“Nah kita aman di sini..”
Kami sudah berada jauh dari tempat kakak-kakak Biru berada.
Biru menjatuhkan dirinya di pasir putih. Ia duduk dengan anggunnya menatap laut
yang terhampar di depan kami. Aku memberanikan diri duduk di sampingnya. Tak lama
kami pun telah terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Biru menceritakan
kisahnya padaku, aku pun menceritakan kehidupanku di sini padanya. Tanpa terasa
semburat jingga mulai tampak di sana. Matahari hampir terbenam.
“Ah, sebentar lagi waktunya aku pulang. Aku harus kembali ke
tempat kakak-kakakku Jaka..” kata Biru seraya berdiri membersihkan dirinya dari
pasir.
Hatiku sedih, tak rela rasanya saat-saat indah ini cepat
berlalu.
“Biru, bolehkah aku
mengajukan permohonan?” tanyaku.
“Apa itu? Bukan untuk memintaku menjadi istrimu dan tinggal
di bumi seperti Jaka Tarub kan?”
Aku menggeleng. “Tidak Biru, kembalilah ke tempat asalmu..
Aku hanya ingin mengatakan.. Biru, aku jatuh hati padamu. Sungguh beruntung aku
dapat bertemu dan mengenal bidadari sepertimu.”
Biru mengangguk berterima kasih sambil tersenyum. Tiba-tiba
ia mengalungkan selendang birunya di bahuku.
“Untukmu, sebagai kenang-kenangan dariku.”
“Tapi nanti kamu jadi tidak bisa terbang ke langit.” Menurut
bayanganku, bidadari-bidadari itu akan menggunakan selendangnya untuk terbang
ke langit.
Biru tertawa kecil. “Aku masih punya banyak selendang
seperti itu, dan kamu tenang saja. Kami akan naik dari pelangi itu.” Biru menunjuk
ke tempat kakak-kakaknya di ujung sana. Entah darimana di sana telah ada ujung
kaki pelangi yang mengarah ke langit.
“Selamat tinggal Jaka..” Biru mengecup pipiku lalu berlari cepat menyusul ke
tempat kakak-kakaknya.
***
“Kang.. Kang Jaka bangun..”
Seseorang menepuk-nepuk pipiku lembut. Aku membuka mata
terkejut. Istriku, Biru, tiba-tiba ada di hadapanku memandangku heran.
“Kan udah Biru bilang Kang, kalau ngantuk ga usah ke laut
dulu. Tidur aja di rumah. Nanti kalau Akang sakit teh gimana.” kata Biru dengan
logat sundanya yang kental.
Aku menatap sekelilingku. Astaga, jadi aku tertidur di
perahuku yang tertambat di tepi pantai.
“Itu teh selendang siapa Kang?” tanya Biru.
Aku memperhatikan
diriku. Sehelai selendang biru tersampir di bahuku. Aku tersenyum. Kukalungkan
selendang biru itu pada istriku.
“Ini kan selendang kamu, istriku, bidadari Biru..”
Aku
mencium pipinya dengan sayang. Ia tersenyum lalu balas mencium pipiku. Rasanya masih sama seperti pertama kali ia mengecupku dulu.
Ternyata tadi aku
bermimpi saat pertama kali bertemu dengan istriku, Biru. Hanya saja istriku ini
adalah bidadari yang tersesat di bumi dan lupa siapa dirinya sebenarnya.
hahaha, kenyataan yang terbawa mimpi :)
ReplyDeleteSudah kuduga ceritanya.. tapi kalau dia bermimpi, benar2 tdk kuduga. :)))
ReplyDeletebuwahahaha.. mesem" sendiri bacanya.. keren! ;D
ReplyDeleteKeren, Ayu. Suka deh. Aku pikir hanya bermimpi, tetapi jadi kenyataan juga.
ReplyDelete