Braga street - Bandung, west Java |
“Apa lihat-lihat?”
Aku merengut manja pada lelaki di sampingku yang sedari tadi
melirikku dengan tatapan menggoda. Ia tergelak.
“Masa ga boleh sih ngeliatin pacar sendiri..”
Aku mendelik. Ia mempererat genggaman tangannya.
“Aku cuma mastiin, ini beneran kamu bukan sih yang ada di
sampingku sekarang.. Semoga aja ini bukan mimpi..” lanjutnya.
Kali ini aku yang tergelak. “Segitunya..”
“Soalnya kan kamu pernah bilang, ibu kamu ngelarang kamu ke
Bandung..”katamu.
“Iya sih.. Tapi gimana, aku kangen banget sama kamu..”kataku.
Kulirik dari sudut mataku kamu tersenyum senang.
“Aku juga kangen kamu sayang..” Kali ini ia merangkul
pinggangku.
Ini pertama kalinya aku datang ke Bandung. Sendirian pula. Selain
karena rasa rinduku tak terbendung lagi dengan pacarku yang sudah setahun
terakhir ini melanjutkan kuliahnya di sini, aku juga penasaran dengan kota ini.
Aku sering mendengar dan membaca tentang kota ini dan setibanya di sini memang
tak jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan selama ini. Pantas saja Bandung
dijuluki Paris van java.
Kami terus berjalan menyusuri salah satu jalan di kota
Kembang ini. Jalan yang tak pernah tidur. Jalan Braga. Jalan sepanjang kurang
lebih 700 meter dan telah dibangun sejak tahun 1930an ini memang punya karisma
tersendiri. Jalannya sempit dan bukan terbuat dari aspal, melainkan dari
andesit. Di sisi kanan kiri jalan terdapat bangunan-bangunan tua peninggalan
Belanda. Menurut sejarah yang kubaca, jalan Braga ini dulunya merupakan komplek
pertokoan orang-orang indo-Belanda. Sekarang pun bentuknya kurang lebih masih
komplek pertokoan dan salah satu pusat keramaian. Ada restoran, galeri lukisan,
tempat makan, tempat billiard, karoke, minimarket bahkan Mall.
Semakin malam semakin ramai orang-orang memadati jalan ini.
Apalagi saat akhir pekan seperti sekarang ini. Tidak sedikit mobil plat luar daerah
yang datang berkunjung. Bukan hanya jalan raya yang dipadati oleh kendaraan
roda dua maupun roda empat, trotoar pun dipadati lautan manusia. Kulihat
beberapa turis asing pun terlihat menikmati keramaian jalan ini, dengan
membidik sisi-sisi jalan Braga ataupun melihat-lihat lukisan yang dipamerkan di
emperan jalan. Selain itu yang kulihat banyak pasangan-pasangan seperti aku dan
pacarku. Bahkan mereka tak sungkan untuk memamerkan kemesraan di depan umum.
Sungguh berbeda dengan kota asalku.
“Jadi mau kemana lagi kita sayang?”tanya lelakiku setelah
kami seharian menyusuri sepanjang jalan Braga.
Malam telah semakin larut tanpa kami sadari. Aku pun sudah
lelah dan ingin beristirahat karena besok pagi aku harus kembali ke kotaku. Ponselku
berbunyi. Irna, temanku yang juga kuliah di Bandung bertanya apa aku jadi
menginap di kostannya. Aku pun berkata pada pacarku kalau aku sudah lelah dan ingin
diantar ke kostan Irna.
“Dimana alamat kostan Irna?” tanya pacarku. Aku menyebutkan alamatnya.
“Hmm ga jauh kok dari kostan aku..” kata pacarku sambil menghidupkan
mesin mobilnya.
“Sayang..” tiba-tiba ia merengkuhku lembut dalam pelukannya.
Ia menciumi rambut, kening, wajahku sampai ke bibirku. Kami berciuman lama sekali
sampai akhirnya ia menyudahinya dan berbisik pelan di telinganku.
“Padahal aku masih ingin lebih lama lagi bersama kamu..”
***
Aku mencoret-coret kalender di mejaku dengan cemas. Pikiranku
kusut. Aku mulai menghitung-hitung. Setelah ini jantungku mulai berdebar tak
karuan.
Aku mual lagi. Tadi di kampus entah sudah berapa kali aku
muntah-muntah di kamar mandi. Berbagai pikiran buruk menghantuiku. Aku
melangkah ke cermin besar di kamarku. Mulai memperhatikan setiap perubahan
dalam diriku. Aku makin cemas.
Di tengah mualku yang semakin menjadi aku pun menghubungi
pacarku.
***
Jalan Braga masih seperti dulu saat pertama kali aku datang.
Aku tersenyum dan menggangguk sopan pada beberapa pelukis jalanan yang menawarkan
dagangannya saat kulewati. Jalanan masih tetap padat dan ramai. Semua masih
sama, hanya aku yang berbeda.
“Sayang..”
Aku teringat pelukanmu di malam itu. Tubuhku seketika
gemetar, mengingat setiap menit dan detik kejadian itu. Kebodohanku. Ketidaktanggungjawabmu.
“Mama, aku mau gulali itu..”
Bocah perempuan yang kugandeng kini menarik-narik tanganku tak sabar.
Mungkin sudah sejak tadi ia merengek saat aku melamun. Aku tersenyum lalu menuntunnya
menghampiri penjual gulali yang ia tunjuk.
Aku kembali ke kota ini, menyusuri sepanjang jalan Braga
yang dulu pernah kita lewati bersama. Kali ini bersama anak perempuanku. Anak kita.
Berharap aku dapat menemukanmu lagi di salah satu sudut jalan kenangan kita.
Beuh.. Suka. Enak bacanya teteup.. (y) ;)
ReplyDeleteKeren, Yu. Pacarnya ga bertanggung jawab ya, Yu?
ReplyDeleteIya Tan.. Jadi pas dihubungi n diksh tau kalo hamil pacarnya malah kabur, ngilang gitu..
ReplyDelete