Raja Ampat - West Papua |
Raungan mesin dari kapal yang baru saja tiba akhirnya
berhenti. Kapal pun mulai merapat. Setelah itu suasana kembali tenang dan damai.
Hanya terdengar percikan ombak kecil yang mendera sisi kapal lalu melepaskannya,
juga sayup-sayup kicauan burung-burung kecil beterbangan dari satu pohon ke
pohon lain.
Aku duduk beralaskan pasir putih di tepi pantai ini,
memangku notebook-ku. Mataku masih
lurus memandangi gundukan pulau karang di hadapanku seolah mengambang di air
laut yang berkilauan.
Beberapa turis turun dari kapal tadi, kemudian berjalan
melewatiku sambil berbicara dengan bahasa Inggris yang cepat. Sempat kulihat mata
takjub mereka melihat pemandangan di hadapan mereka ini. Ya, siapa yang takkan terpesona.
Raja Ampat—kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten Sorong, Papua ini
memang layak disebut surga dunia. Kepulauan Raja Ampat tak hanya dianggap
sebagai taman laut terbesar di Indonesia, namun juga diyakini memiliki kekayaan
biota laut terbesar di dunia. Di sinilah rumah bagi 540 jenis karang,
1.511 spesies ikan, serta 700 jenis moluska. Kekayaan biota inilah yang menjadikan
Raja Ampat sebagai perpustakaan hidup dari koleksi terumbu karang dan biota
laut paling beragam di dunia. Saat menginjakkan kaki di Raja Ampat ini maka
kegembiraan sudah dapat dirasakan. Orang yang baru datang seketika akan memuji
nama Tuhan-nya karena mata dan hatinya terpikat dengan pemandangan alam yang
luar biasa ini. Bila orang tersebut hanya diam terkesima, maka itu adalah bukti
bahwa orang itu telah tertawan oleh setitik surga yang jatuh di lautan yang
jernih sebening kristal dan ombak lembut menyapu pasirnya yang putih.
Kulihat tak jauh dari tempatku tampak pasangan yang sudah
memakai perlengkapan selamnya. Mereka sedang menunggu boat yang akan membawa mereka menuju titik selam dimana kita dapat
menikmati pemandangan bawah laut yang begitu indahnya.
Aku tersenyum melihatnya. Aku sudah beberapa hari di sini.
Pun aku sudah puas menyelami dasar lautan. Saat ini aku hanya ingin melamun dan memandang keindahan tempatku berada saat ini.
“Mau sampai kapan kamu seperti itu?”
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke kanan dan
kiriku. Tapi tidak ada seorang pun yang berbicara padaku.
Suara itu…
Tanpa sadar aku memegang dadaku. Ada rasa sakit yang menyesakkan
di sana. Dan lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa kucegah. Padahal selama
beberapa hari di sini aku berusaha menahannya.
Aku juga tak mau
seperti ini terus!. Kucoba membantah suara itu.
“Hei..”
Kali ini sepasang tangan mengusap sudut mataku. Aku
menengadah. Seorang lelaki berkulit coklat tiba-tiba muncul di hadapanku. Air laut masih membasahi tubuh atletis dan ujung-ujung rambutnya.
Cepat-cepat kutepis tangan itu dan kuhapus sendiri air mataku. Seharusnya ia tak boleh melihatku seperti ini.
Sekarang ia berjongkok di hadapanku, memandangku sendu. Dipandangi seperti itu air mataku makin deras mengalir. Aku pun terisak-isak menunduk di hadapannya.
Sekarang ia berjongkok di hadapanku, memandangku sendu. Dipandangi seperti itu air mataku makin deras mengalir. Aku pun terisak-isak menunduk di hadapannya.
"Jadi ini ya alasanmu ga mau ikut aku menyelam.. biar kamu bisa puas menangis dan melamunkan dia di sini." Ia mengambil notebook dari pangkuanku dan meletakkannya di sampingku. Aku diam saja mendengar tuduhannya.
“Lihat aku Rahne..” pintanya lembut.
Aku menggeleng dan menghindari tatapannya. Tetapi sepasang
tangannya yang kokoh memegang bahuku.
“Lihat aku plis..”
Ia memegang daguku lalu menciumku lembut. Aku terdiam dalam tangisku. Selesai menciumku ia memandangku dengan tatapan memohon.
“Sekarang ada aku kan, Ne.. Aku suamimu sekarang.. Tolong
jangan terus menerus membawa kepingan dirinya..” Naren memelukku erat.
Dalam pelukan Naren aku makin tergugu. Perasaan bersalah makin merasukiku yang tak juga bisa membalas perasaan orang yang mencintaiku ini.
Maaf, maafkan aku
Naren.. Mungkin takkan ada lagi cinta dalam hatiku sepeninggal Wisnu..
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)