Pura Besakih, Bali |
“Wisnuuu… tunggu aku dong..”
Terengah-engah gadis kecil itu mengejar teman di depannya
yang tertawa-tawa.
“Ayo sini Ne, kejar aku..” ledek anak lelaki yang dipanggil
Wisnu itu tanpa berusaha memperlambat langkahnya.
Akhirnya si gadis kecil mempercepat langkah kecilnya menaiki
undakan tangga Pura. Karena tergesa-gesa dan tidak memperhatikan langkahnya, ia
pun jatuh terpeleset.
“Wisnuuuu…”jeritnya.
Wisnu yang semula meninggalkannya itu terkejut namun ia segera melesat menghampirinya.
“Rahne.. Rahne, kamu ga apa-apa?”
Wisnu membantunya berdiri. Gadis kecil itu meringis
kesakitan. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Lutut sebelah kanan dan siku
kirinya lecet dan berdarah.
“Sakit, Nu…” Rahne terisak.
Wisnu spontan memeluknya. “Maafin aku ya Ne, aku salah.. Maaf
ya..”
Rahne mengangguk seraya melepas pelukan Wisnu.
“Yuk, aku gendong kamu sampai ke tempat mama papa kita di
atas.”
“Emang kamu kuat gendong aku?”
“Kuat.. Udah deh cepetan naik ke punggung aku, Ne.. Nanti
kita ketinggalan doa bersama..”
Rahne tersenyum dan segera naik ke punggung Wisnu.
***
Matahari senja muncul perlahan menghiasi langit Bali. Rahne dan Wisnu duduk berdampingan di salah satu tangga Pura Besakih, yang merupakan Pura terbesar dan pusat pemujaan umat Hindu di Indonesia. Letaknya tak jauh dari tempat tinggal mereka. Masa kecil Rahne dan Wisnu dihabiskan dengan bermain di Pura ini. Beranjak dewasa mereka sering bertemu di Pura dalam upacara adat maupun sekedar untuk menikmati senja seperti saat ini.
Hari ini suasana Pura tidak terlalu ramai oleh wisatawan maupun umat yang berdoa. Lama mereka terhanyut dalam keheningan menatap pemandangan alam yang terbentang di hadapan mereka.
Hari ini suasana Pura tidak terlalu ramai oleh wisatawan maupun umat yang berdoa. Lama mereka terhanyut dalam keheningan menatap pemandangan alam yang terbentang di hadapan mereka.
Rahne memandang Wisnu di sampingnya yang masih diam
menatap lurus ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Ada perasaan aneh bergemuruh
di hati Rahne memandang wajah sahabatnya sedari kecil itu. Bukan semata Wisnu
yang dulu, yang selalu menjahilinya dan juga selalu melindunginya. Ah, anak lelaki cepat sekali bertambah
dewasa..
“Maafin aku ya Ne, harus ninggalin kamu.”
Akhirnya Wisnu bersuara, namun pandangannya tetap lurus, tidak memandang mata Rahne.Esok hari Wisnu akan pindah ke Ibukota untuk meneruskan kuliah. Bohong jika Rahne tidak merasa sedih karenanya. Dalam hatinya ia berharap semoga Wisnu pun demikian.
“Gapapa Nu, tapi janji ya kamu akan balik lagi ke Bali..”
Rahne memberanikan diri memegang telapak tangan Wisnu di
sampingnya. Lagi-lagi hatinya berdesir. Tanpa ia duga, Wisnu balas menggenggam erat
tangannya lalu mengalihkan pandang ke arahnya. Tatapan Wisnu serasa menembus
langsung ke jantungnya.
“Empat tahun lagi, kita ketemu lagi di sini Ne.. ”
Mereka sama-sama tersenyum.
“Aaaahh Wisnuu…” Rahne memeluk sahabatnya itu. “Aku yakin
kamu pasti kesepian ga ada aku Nu.”
“Kamu kali yang kesepian karena ga ada aku..” balas
Wisnu.
Mereka melepaskan pelukannya, lalu tertawa bersama.
Empat tahun lagi, oh Dewata Agung,
cepatlah buat waktu segera berlalu.. Jangan buat aku mati dalam rindu yang
tiada berujung.. doa Rahne dalam hati.
***
“Aku lagi di kafe Jimbaran, Ne..” jawab Wisnu di seberang
telepon. Hingar-bingar musik terdengar dari belakangnya.
“Hah? Kok kamu ga ngajak dan bilang aku sih. Aku udah
nungguin kamu daritadi di Pura.”
Rahne mendesah kesal. Apa-apaan si Wisnu, bukannya dia sendiri yang bilang pagi ini tunggu dia di Pura Besakih.
Setelah empat tahun Wisnu menepati janjinya kembali lagi ke Bali. Namun semalam mereka baru
bertemu sebentar karena tentu saja waktu Wisnu dihabiskan untuk temu kangen
dengan keluarganya. Rahne amat terkejut melihat perubahan Wisnu. Ia makin
bertambah tinggi dan tentu saja bertambah tampan.
Debaran aneh dahulu kembali hadir dalam diri Rahne. Apalagi mendengar Wisnu
mengatakan bahwa dirinya bertambah cantik. Rahne yakin wajahnya semalam seperti
langit senja saat mendengar pujian Wisnu.
“Maaf Ne, ada temanku dari Jakarta yang minta ketemu di
sini.. Halo, Ne, kamu masih di sana kan?”
Rahne tersadar dari lamunannya. “Iya iya Wis.. Hmm yaudah
terus kapan kita ketemu? Aku kangen kamu tau!”
Astaga Rahne, ga bisa
ya kamu berkata lembut sedikit.. Rahne menepuk-nepuk bibirnya.
Terdengar tawa khas Wisnu di seberang. “Aku juga kangen
kamu, Rahne..” suara Wisnu lalu melembut dan terasa menggema di telinga Rahne. Rahne
merasakan wajahnya kembali panas.
“Tunggu aku di Pura nanti sore ya.. Kita lihat sunset sama-sama, kayak dulu..” kata
Wisnu.
“Banyak yang mau aku omongin ke kamu, Nu..” kata Rahne
lirih.
“Aku juga, Ne.. makanya tunggu aku ya. Sebentar lagi aku
balik kok..”
“Oke..”
“Ne..”
Terdengar jeda nafas Wisnu di seberang.
“Ya, Nu?” Rahne menunggu dengan cemas.
“Ga jadi, Ne.. Nanti aja.. Udah ya, tunggu aku pokoknya.”
***
Rahne duduk di salah satu tangga Pura Besakih sambil
menatap pemandangan senja di hadapannya. Memori tentang Wisnu dan dirinya sedari
tadi silih berganti hadir dalam pikirannya.
“Wisnu..” panggil Rahne dalam lirihnya.
Hening, hanya ada suara angin menyentuh dedaunan.
Rahne terisak perlahan masih menyebut-nyebut nama Wisnu.
Tetapi Wisnu yang dipanggilnya tidak ada lagi di sampingnya.
Wisnu yang ia tunggu tak akan pernah datang lagi. Air mata Rahne menetes satu-satu,
membasahi lembaran surat kabar yang dibawanya. Salah satu headline beritanya adalah daftar nama korban bom Bali.
“Aku belum bilang kalau aku sayang kamu, Wisnu..”
Nah yaa, kalau memang suka cepetan bilang daripada rasanya tidak pernah terucapkan. kecuali kalau memang mengucapkannya bisa membawa pada kesulitan. ya nggak? *terpekur*
ReplyDeleteAAAAKKK betul banget Bety.. *ikutan terpekur*
ReplyDelete