Pages

Sunday, June 17, 2012

SEPANJANG JALAN BRAGA


Braga street - Bandung, west Java

“Apa lihat-lihat?”

Aku merengut manja pada lelaki di sampingku yang sedari tadi melirikku dengan tatapan menggoda. Ia tergelak.

“Masa ga boleh sih ngeliatin pacar sendiri..”

Aku mendelik. Ia mempererat genggaman tangannya.

“Aku cuma mastiin, ini beneran kamu bukan sih yang ada di sampingku sekarang.. Semoga aja ini bukan mimpi..” lanjutnya.


Kali ini aku yang tergelak. “Segitunya..”

“Soalnya kan kamu pernah bilang, ibu kamu ngelarang kamu ke Bandung..”katamu.

“Iya sih.. Tapi gimana, aku kangen banget sama kamu..”kataku.

Kulirik dari sudut mataku kamu tersenyum senang.

“Aku juga kangen kamu sayang..” Kali ini ia merangkul pinggangku.

Ini pertama kalinya aku datang ke Bandung. Sendirian pula. Selain karena rasa rinduku tak terbendung lagi dengan pacarku yang sudah setahun terakhir ini melanjutkan kuliahnya di sini, aku juga penasaran dengan kota ini. Aku sering mendengar dan membaca tentang kota ini dan setibanya di sini memang tak jauh berbeda dengan apa yang aku bayangkan selama ini. Pantas saja Bandung dijuluki Paris van java.

Kami terus berjalan menyusuri salah satu jalan di kota Kembang ini. Jalan yang tak pernah tidur. Jalan Braga. Jalan sepanjang kurang lebih 700 meter dan telah dibangun sejak tahun 1930an ini memang punya karisma tersendiri. Jalannya sempit dan bukan terbuat dari aspal, melainkan dari andesit. Di sisi kanan kiri jalan terdapat bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Menurut sejarah yang kubaca, jalan Braga ini dulunya merupakan komplek pertokoan orang-orang indo-Belanda. Sekarang pun bentuknya kurang lebih masih komplek pertokoan dan salah satu pusat keramaian. Ada restoran, galeri lukisan, tempat makan, tempat billiard, karoke, minimarket bahkan Mall.

Semakin malam semakin ramai orang-orang memadati jalan ini. Apalagi saat akhir pekan seperti sekarang ini. Tidak sedikit mobil plat luar daerah yang datang berkunjung. Bukan hanya jalan raya yang dipadati oleh kendaraan roda dua maupun roda empat, trotoar pun dipadati lautan manusia. Kulihat beberapa turis asing pun terlihat menikmati keramaian jalan ini, dengan membidik sisi-sisi jalan Braga ataupun melihat-lihat lukisan yang dipamerkan di emperan jalan. Selain itu yang kulihat banyak pasangan-pasangan seperti aku dan pacarku. Bahkan mereka tak sungkan untuk memamerkan kemesraan di depan umum. Sungguh berbeda dengan kota asalku.

“Jadi mau kemana lagi kita sayang?”tanya lelakiku setelah kami seharian menyusuri sepanjang jalan Braga.

Malam telah semakin larut tanpa kami sadari. Aku pun sudah lelah dan ingin beristirahat karena besok pagi aku harus kembali ke kotaku. Ponselku berbunyi. Irna, temanku yang juga kuliah di Bandung bertanya apa aku jadi menginap di kostannya. Aku pun berkata pada pacarku kalau aku sudah lelah dan ingin diantar ke kostan Irna.

“Dimana alamat kostan Irna?” tanya pacarku. Aku menyebutkan alamatnya.

“Hmm ga jauh kok dari kostan aku..” kata pacarku sambil menghidupkan mesin mobilnya.

“Sayang..” tiba-tiba ia merengkuhku lembut dalam pelukannya. Ia menciumi rambut, kening, wajahku sampai ke bibirku. Kami berciuman lama sekali sampai akhirnya ia menyudahinya dan berbisik pelan di telinganku.

“Padahal aku masih ingin lebih lama lagi bersama kamu..”  

***

Aku mencoret-coret kalender di mejaku dengan cemas. Pikiranku kusut. Aku mulai menghitung-hitung. Setelah ini jantungku mulai berdebar tak karuan.

Aku mual lagi. Tadi di kampus entah sudah berapa kali aku muntah-muntah di kamar mandi. Berbagai pikiran buruk menghantuiku. Aku melangkah ke cermin besar di kamarku. Mulai memperhatikan setiap perubahan dalam diriku. Aku makin cemas.

Di tengah mualku yang semakin menjadi aku pun menghubungi pacarku.

***

Jalan Braga masih seperti dulu saat pertama kali aku datang. Aku tersenyum dan menggangguk sopan pada beberapa pelukis jalanan yang menawarkan dagangannya saat kulewati. Jalanan masih tetap padat dan ramai. Semua masih sama, hanya aku yang berbeda.

“Sayang..”

Aku teringat pelukanmu di malam itu. Tubuhku seketika gemetar, mengingat setiap menit dan detik kejadian itu. Kebodohanku. Ketidaktanggungjawabmu.

“Mama, aku mau gulali itu..”

Bocah perempuan yang kugandeng kini menarik-narik tanganku tak sabar. Mungkin sudah sejak tadi ia merengek saat aku melamun. Aku tersenyum lalu menuntunnya menghampiri penjual gulali yang ia tunjuk.

Aku kembali ke kota ini, menyusuri sepanjang jalan Braga yang dulu pernah kita lewati bersama. Kali ini bersama anak perempuanku. Anak kita. Berharap aku dapat menemukanmu lagi di salah satu sudut jalan kenangan kita.   


3 comments:

  1. Beuh.. Suka. Enak bacanya teteup.. (y) ;)

    ReplyDelete
  2. Keren, Yu. Pacarnya ga bertanggung jawab ya, Yu?

    ReplyDelete
  3. Iya Tan.. Jadi pas dihubungi n diksh tau kalo hamil pacarnya malah kabur, ngilang gitu..

    ReplyDelete

Leave your comment please.. thank you ;)