Perempuan di hadapanku itu kini menunduk. Mengusap sisa-sisa bening air matanya. Padahal beberapa saat yang lalu—ketika kusapa di pertemuan pertama kami, ia masih dapat menunjukkan senyum terindahnya. Bagiku. Aku yang terpesona olehnya sejak pertama kali melihatnya dalam bingkai foto yang terpajang di kamar sahabatnya, teman akrabku. Sejak saat itu wajahnya selalu menghiasi mimpi indahku. Pertemuan dengannya saat ini di sebuah coffee shop kotaku adalah mimpi indahku yang terwujud. Bertemu dengan perempuan pujaanku—malaikatku.
Dan malaikatku itu kini sedang menangis. Lagi. Aku menyesal. Kebodohanku bertanya sebab ia berada di kota ini kembali mengurai detik-detik kelam dalam hidupnya. Aku kesal. Kesal pada lelaki bodoh yang telah menorehkan luka di hati perempuan yang kucintai ini.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Berlutut di sampingnya. Kami saling bertatapan. Kuraih telapak tangannya dan kugenggam erat-erat.
“Izinkan.. izinkan aku menjadi obat luka di hatimu..”
Senyum malaikatku kembali nampak perlahan.
***
“Siapa lelaki tadi?” tanyaku di sela-sela makan malam kami.
Perempuan di hadapanku menatapku dengan pandangan bertanya.
“Yang kamu senyumi di musholla tadi..”
Dia terkejut. Entah karena apa. Mungkin karena aku telah menebak isi hatinya.
“Bukan siapa-siapa.. aku ga kenal..” dia meneruskan suapannya. Ada getir dalam nada suaranya.
Satu tahun sejak pertemuan pertamaku dengannya, malaikatku. Dua bulan sejak jari manis kami terpasang cincin yang sama. Kupikir aku sudah tak akan lagi melihat tatapan itu. Tatapan yang bahkan tak pernah ia perlihatkan padaku. Tatapan yang kutahu hanya ia perlihatkan pada orang itu—kekasihnya yang dulu. Ya, lelaki tadi mirip sekali dengan orang itu.
Kupandang ia yang kini melamun di hadapanku. Aku tahu sayang, masih ada ia di matamu. Aku tahu tak mudah menghapus bayang indahnya di ingatanmu. Tapi aku tak akan menyerah. Aku akan terus mencintaimu. Cintaku ini pasti ‘kan menyembuhkan luka hatimu.
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)