Pasar Terapung - Banjarmasin, South Kalimantan |
Hari ini adalah hari yang penting karenanya aku sibuk sekali mempersiapkan segala sesuatunya. Tanpa membuang waktu usai shalat shubuh aku bergegas menuju pasar yang letaknya tak jauh dari rumahku.
Pasar di daerahku ini unik, tidak seperti di daerah-daerah lain. Pasar tradisional ini dinamakan pasar terapung. Sesuai dengan namanya, tentu saja semua kegiatan jual beli dilakukan di atas jukung atau klotok yang terapung di sepanjang sungai Barito, di muara sungai Kuin. Banyak pedagang yang menjajakan barang dagangannya antara lain buah-buahan, sayuran, makanan ringan, bahkan ada juga warung terapung. Pasar ini memulai aktivitasnya dari pukul 3.30 WITA sampai sekitar pukul 6.30 WITA. Karena itu kita tidak boleh kesiangan datang ke pasar agar tidak kehabisan.
“Borong mbak..”
Seseorang dari jukung di sampingku menyapa. Aku tersenyum. Belanjaanku dalam jukung ini memang banyak sekali. Setelah kurasa belanjaanku cukup, aku menepikan jukung-ku ke arah dermaga. Di sana ada jukung warung terapung yang menjual soto Banjar, makanan khas dan favorit daerah ini. Selain Soto Banjar ada juga makanan lain seperti sop Banjar, nasi kuning, nasi rawan (rawon manis ala Banjar), karih (kare) dan wadai-wadai (jajanan khas banjar). Aku segera memesan satu porsi Soto Banjar dan segelas teh manis hangat.
Seseorang dari jukung di sampingku menyapa. Aku tersenyum. Belanjaanku dalam jukung ini memang banyak sekali. Setelah kurasa belanjaanku cukup, aku menepikan jukung-ku ke arah dermaga. Di sana ada jukung warung terapung yang menjual soto Banjar, makanan khas dan favorit daerah ini. Selain Soto Banjar ada juga makanan lain seperti sop Banjar, nasi kuning, nasi rawan (rawon manis ala Banjar), karih (kare) dan wadai-wadai (jajanan khas banjar). Aku segera memesan satu porsi Soto Banjar dan segelas teh manis hangat.
Saat sedang menikmati sarapanku, samar-samar aku mendengar pengunjung lain berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Aku mendengus sebal karena sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan. Biar sajalah mereka mau berkata apa.
Setelah membayar makananku, aku segera mengambil belanjaanku dan mengembalikan jukung yang kupinjam kepada bapak pemiliknya beserta uang sewanya.
Sesampainya di rumah, sudah banyak wanita-wanita desa berkumpul. Mereka yang akan membantu keluargaku hari ini. Kuserahkan belanjaan yang tadi kubeli pada mereka untuk dimasak.
“Nak, kamu kok belum siap-siap?”tiba-tiba ibuku muncul. Aku mengangguk dan segera menuju ke kamarku untuk mandi dan bersiap-siap.
Setelah aku rapi berpakaian aku menemui ibu di kamarnya. Kulihat beliau sedang melipat dengan hati-hati sehelai sasirangan.
“Bu, bagaimana persiapannya udah beres?”
Sasirangan, kain adat suku Banjar di Kal-Sel (sumber : Wikipedia) |
“Sudah Nak.. kamu sendiri bagaimana? Ibu sebenarnya sedih sekali dengan keputusanmu tapi..”
“Demi kebahagiaan kita semua, bu.. Ibu jangan cemaskan aku. Aku baik-baik saja kok” potongku cepat lalu tersenyum.
“Terima kasih ya Nak, semoga setelah ini keadaan semakin membaik. Ya sudah, mari kita keluar sekarang. Sepertinya persiapan di kamar sebelah sudah selesai.”
Ibu memakaikan sehelai sasirangan di kepalaku sebelum mengapitku menuju ruangan di samping kamarnya. Di sana sudah ada beberapa orang yang menunggu kami dan mataku bertemu pandang dengannya. Ia memandangku sedih. Seperti ingin mengatakan sesuatu padaku namun aku segera memalingkan wajahku.
Tolong, jangan melihatku dengan pandangan seperti itu..
Kulihat sudah ada sosok cantik namun berwajah pucat terbaring di dipan. Ibu memakaikan sasirangan di kepalanya, lalu mencium keningnya. Lalu ibu memanggil dia untuk mendekat dan duduk di samping ibu. Aku berdiri di belakang ibu dan dia.
“Baiklah, karena semua anggota keluarga sudah berkumpul mari kita segera mulai akadnya.” Seorang tetua memecah keheningan.
Dia, suamiku, dengan lantang mengucapkan ijabnya untuk adikku yang terbaring dengan selang infus di tangannya.
Adikku jatuh sakit dan tak sadarkan diri semenjak kepulangannya dari rantau karena syok melihatku telah menikah dengan seseorang yang sangat dicintainya. Aku tak pernah tahu jika adikku ternyata telah memendam cinta yang begitu dalam dan suamiku tak mengira kebaikan adikku selama ini karena mencintai dirinya. Ia sudah lebih dulu jatuh cinta padaku. Demi cintaku pada adik dan suamiku, akhirnya kurelakan suamiku membagi cintanya karena dia tidak mau menceraikanku.
Air mataku tak terbendung lagi. Tanpa suara aku keluar dari ruangan yang khidmat itu menuju kamarku.
Di tengah keheningan dan hati yang tercabik, kuikatkan sasirangan yang kupakai sekencang-kencangnya di leherku..
15HariNgeBlogFF2 day 11, Setting : Pasar Terapung, Banjarmasin - Kalimantan Selatan
Keterangan
jukung : sebutan sampan/perahu tak bermesin khas Banjar
sasirangan : kain adat suku Banjar yang dibuat dengan teknik jelujur kemudian diikat tali rafia dan selanjutnya dicelup. Asal mulanya digunakan atau dipercaya untuk kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan). Kain ini sering dipakai pada upacara adat suku Banjar.
(dari berbagai sumber)
Ini namanya nggak rela. Kalau rela, harusnya nggak bunuh diri. Hehe.
ReplyDeleteSedihnya, Yu
ReplyDelete