Surabaya old town area |
Aku kembali!!
Hampir saja aku melonjak
kegirangan. Betapa aku tak pernah bermimpi dapat menginjakkan kaki lagi di
sini. Sengaja aku turun dari taksi yang membawaku dari Terminal Purabaya untuk
berjalan-jalan di kawasan kota tua Surabaya ini. Kukenakan kacamata hitam dan
topiku untuk menghindari sengatan matahari siang yang terik. Kusiapkan Canon-ku,
aku ingin kepulanganku kembali ke kota kelahiranku ini dapat diabadikan dalam jepretan
amatirku. Lalu dimulailah tur kecil-kecilanku.
Kulihat sebuah trem merah
melintas di depanku. Kubertanya pada salah seorang di dekatku ternyata trem itu
dapat membawa kita keliling kawasan kota tua ini tanpa dipungut biaya. Namun tentu
saja kita harus memesan dulu jauh-jauh hari. Aku sedikit kecewa karena aku
belum pernah mencoba naik trem itu. Tetapi tak apa, jalan kaki mengelilingi
kawasan ini juga bukan ide yang buruk.
Tak banyak perubahan pada kota
ini sejak kepergianku beberapa tahun yang lalu. Bangunan-bangunan di sisi jalan
yang rata-rata dibangun pada akhir abad 19 atau awal abad 20 masih kokoh
berdiri. Meski telah berumur, beberapa bangunan kuno tersebut masih memancarkan
karisma kemegahannya di masa lampau. Bahkan ada gedung-gedung klasik bergaya
Eropa tersebut yang masih terawat dengan baik dan digunakan kembali menjadi
perkantoran. Selain itu juga ada yang tidak terawat sehingga terlihat sekilas
menyeramkan.
Aku terus melangkah menyusuri
setapak demi setapak kawasan ini, sesekali mengarahkan Canon-ku untuk mengabadikan
keindahannya. Masjid tua Sunan Ampel, Masjid merah Cheng Hoo, Tugu
Pahlawan, sampai Jembatan Merah tak satupun luput dari jepretanku. Aku
tersenyum sendiri. Kini jika aku kesepian, foto-foto ini akan menjadi penawar
rinduku.
Kulirik jam tanganku. Tak terasa
hari beranjak petang. Ah, padahal aku masih ingin berlama-lama di sini. Tapi aku
ingat harus segera kembali.
“Murni?”
Tiba-tiba suara lembut menyapaku.
Seorang ibu-ibu setengah baya dengan bakulan jamunya. Ia memperhatikanku
lekat-lekat. Aku terkejut. Sejenak aku terdiam bingung apa yang harus aku
lakukan. Lalu setelah sadar aku segera berjalan cepat menghindarinya.
“Murni.. Nduk.. Cah ayu.. kok malah
lari..”
Ibu itu terengah-engah mengikutiku.
Keringat dingin membasahiku. Kali
ini aku setengah berlari menghindarinya. Padahal seharusnya wajahku sudah
tersamar dengan kacamata hitamku.
Tidak, jangan sekarang..
“Sabrina!!”
Kali ini seorang pria berjas
hitam dengan mobil hitam mengkilap berteriak memanggilku dari ujung jalan. Aku mendesah
lega. Walaupun aku berharap jangan orang ini yang muncul menolongku, tapi tak
urung aku berlari menghampirinya. Ibu itu berhenti mengikutiku dan sekilas
kulihat ia menatapku kecewa.
Aku segera ditarik masuk ke dalam
mobil oleh pria itu.
“Sudah puas kaburnya? Kamu ini
sudah bikin heboh semua kru film.” omelnya.
“Maaf.. ” kataku lirih.
“Kamu tidak bilang apa-apa kan
sama orang itu?”
Aku menggeleng. “Aku juga heran
mengapa ia bisa mengenaliku Mas..”
“Huh. Baguslah. Nanti sesampainya
di Jakarta kita harus atur ulang jadwal syuting yang kamu bikin kacau hari ini.
Dan oh ya jangan lupa, nanti malam giliranku ya honey..”
Ia menarik daguku lalu mencium
bibirku sebelum menjalankan mobil. Selanjutnya ia pun mengoceh lagi tentang jadwal-jadwal
pelanggan lain yang harus kulayani.
Aku hanya mengangguk pelan.
Kupandangi ibu tua tadi dari kaca spion yang makin lama makin menjauh. Air
mataku menetes.
Maafin Murni terpaksa ga ramah
sama ibu.. Tapi nanti, suatu saat nanti Murni pasti akan kembali lagi..
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)