Nasi goreng di piringku belum sepenuhnya habis. Ternyata menangis dapat juga mengenyangkan. Aku mengambil cermin kecil dari kotak make-up di tasku. Astaga, mataku merah dan bengkak. Sudah berapa lama aku menangis?. Kuperhatikan sekelilingku. Semoga saja tidak ada yang memperhatikan kalau ada wanita bodoh yang makan nasi goreng sambil menangis. Selain Sandra tentunya.
Saat aku akan beranjak dari meja nomor 5 menuju kasir untuk membayar pesananku, mataku tertuju pada seorang wanita yang baru saja masuk. Matanya mencari-cari tempat yang kosong, kemudian berbinar seketika saat melihatku akan beranjak pergi. Aku terpana sesaat. Sepertinya aku pernah melihatnya..
"Udah mau selesai ya say?" tiba-tiba saja Ia sudah berdiri di hadapanku. Cantik tentu saja, rambutnya digelung dan dibiarkannya anak-anak rambut di sekitar telinganya terurai. Pakaiannya modis tapi sederhana. Ia tersenyum ramah padaku.
"Ah iya baru mau bayar.. silahkan" Aku tersadar dari lamunanku. Kemudian mempersilahkannya menggantikanku menempati meja itu. Aku segera berlalu menuju kasir.
Sambil membayar pesananku, aku berpikir keras. Rasanya aku pernah melihat wanita itu entah dimana. Kuperhatikan lagi sosoknya dengan penasaran. Ah, aku ingat! Laviosa.. ya, dia Laviosa. Aku pernah melihatnya saat upacara kelulusan, Dani pernah mengenalkannya padaku.
Hatiku sedikit bergejolak. Wanita itu tega-teganya meninggalkan Dani sehari sebelum hari pernikahan mereka. Bahkan gara-gara dia, Dani meninggalkanku. Biarpun Dani telah menyakiti hatiku tapi tetap saja aku tak rela jika ada yang menyakitinya.
Untungnya, otakku masih berpikir waras. Kuurungkan niatku untuk menghampiri wanita itu dan melabraknya. Lagipula bisa saja ingatanku salah. Siapa tahu dia bukan Laviosa, hanya mirip saja.
"Maya.."
Seseorang menepuk pundakku saat aku akan mendorong pintu kafe.
Wanita itu!
Aku memandangnya heran. Darimana ia tahu namaku?
"Ini, map kamu ketinggalan di meja. Aku lihat nama kamu di situ.." Wanita itu memberikan map putih yang berisikan catatan-catatan kuliahku. Aku mengambilnya seraya mengangguk berterimakasih.
"Kamu.. Maya-nya Dani ya? Maya Karlina?" kata-kata Wanita itu mengejutkanku lagi.
"Aku liat nama panjang kamu di situ.." Ia menunjuk map putih yang kini kudekap di dadaku. "Kita pernah ketemu sekali juga kan kalau ga salah.. dan aku pernah liat nama kamu di blackberry Dani, tunanganku.."
"Tunangan? Bukannya kamu ninggalin dia sehari sebelum pernikahan?" semprotku sebelum wanita itu menyelesaikan kata-katanya. Air mukanya berubah saat mendengar tuduhanku. Tapi kemudian ia cepat mengendalikannya.
"Iya, aku Laviosa.." Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya padaku. Aku mengacuhkannya.
"Hmm.. gimana kalau kita ngobrol-ngobrol dulu say? Kamu harus dengar ceritaku dulu baru kamu boleh mengomentariku apa saja.."
Ia merangkul bahuku lalu menuntunku kembali ke meja tempat kami bertemu tadi. Herannya aku tidak menolak.
Saat kami duduk, Sandra membawakan pesanan Laviosa. Sandra memandangku dengan penuh tanya. Aku hanya memelototinya sebagai isyarat "jangan mulai kepo deh". Lalu ia segera berlalu.
"Aku pesenin kamu minum ya, May.. Masa kamu ngeliatin aku makan aja.."
"Eh ga usah repot.. aku kan tadi abis makan. Lagian aku lebih penasaran sama cerita kamu."
Laviosa tertawa. "Beneran nih? Aku pikir kamu abis nangis.. Soalnya mata kamu bengkak banget tuh"
Ketahuan deh! Wajahku memerah malu.
"Dani tuh emang hobi bikin cewek nangis ya.." kata Laviosa. Kemudian ia pun menceritakan kisahnya dengan Dani sambil sesekali menyuap nasi goreng seafood nya.
Jadi sebelum bertemu Dani sebenarnya Laviosa sudah memiliki kekasih, hubungan mereka pun telah berjalan lama. Sampai akhirnya Laviosa bertemu Dani di sebuah acara perusahaan. Mereka berkenalan dan entah bagaimana mereka jadi dekat. Tapi Laviosa benar-benar tak punya perasaan apa-apa pada Dani. Malah Dani yang selalu mengejar-ngejarnya.
"Aku tuh cinta banget sama Ferdi, pacarku waktu itu May.. Aku berani sumpah aku ga ada perasaan apa-apa sama Dani. Apalagi aku pernah ga sengaja baca pesan-pesan dari kamu di blackberry dia. Aku jadi mikir kalian punya hubungan istimewa." kata Laviosa setelah meneguk es jeruknya.
Saat Dani menyatakan perasaannya, Laviosa tentu saja menolaknya dan mengatakan ia masih mencintai Ferdi. Ternyata kedekatan mereka selama ini disalahartikan Dani. Dani pun sakit hati. Ia pun melakukan berbagai cara. Ternyata diam-diam ia lewat orang tuanya menekan perusahaan orang tua Laviosa sehingga Laviosa terpaksa menerima lamaran Dani.
"Aku ga bisa nolak May.. Aku udah kasih berbagai alasan, tapi dia ga peduli. Malah dia bilang, jadi setelah Maya kamu mau ninggalin aku juga?"
Aku terkejut mendengar penuturan Laviosa. "Dani bilang sama aku, kalau dia udah tunangan sama kamu jadi ga bisa nerusin hubungannya sama aku.."
Laviosa mendengus kesal. "Itu bisa-bisanya dia buat alasan May!"
Setelah itu mulailah persiapan pernikahan. Tapi Laviosa masih belum memutuskan Ferdi, ia juga belum menceritakan yang sebenarnya terjadi pada Ferdi.
"Aku bingung May harus bilang apa sama Ferdi.. Aku ga sanggup ngomong sama dia.." suara Laviosa bergetar menahan tangis.
Saat itu Laviosa pikir 'tekanan' dari Dani akan berakhir karena Laviosa telah menerima lamarannya. Ternyata tidak. Sudah tunangan pun Dani masih sering menyebut-nyebut nama Maya, juga mengatakan masih mencintai Maya.
"Aku ga pernah bales kalo dia kayak gitu.."kataku.
"Aku tahu kok May.." Laviosa menghela napas.
Dani bilang itu ia lakukan karena Laviosa juga masih mencintai Ferdi. Sampai akhirnya sehari sebelum pernikahan Laviosa mendengar Ferdi kecelakaan dan terluka parah. Laviosa pun panik dan kabur dari rumah.
"Tapi Ferdi.. Ferdi ga bisa diselamatkan May.. Kemudian aku tahu kalau yang nabrak mobil Ferdi itu Dani yang lagi mabuk.."
Kali ini Laviosa tak lagi dapat menahan tangisnya. Aku jadi serba salah. Otakku serasa penuh harus mencerna cerita versi Laviosa ini. Kenapa Dani jadi terlihat jahat sekali. Aku jadi kasihan pada Laviosa. Gara-gara Dani ia harus kehilangan Ferdi, lelaki yang dicintainya, selamanya.
"Sakit ya May.." Dengan berurai air mata Laviosa memandangku sambil mendekap dadanya.
"Sama.." jawabku namun hanya tertahan di ujung bibirku.
Aku tak mampu berkata-kata.
~Ini cerita lanjutan untuk buku yang saya mulai di volpen.com judulnya "Love is (not) you". Bisa dibaca di sini
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)