Pages

Tuesday, June 12, 2012

MENUNGGU LAMPU HIJAU


Jam Gadang - Bukittingi, west Sumatra

“Aku tunggu di sini ya..”

Aku melambai pada mereka—dua orang perempuan dengan dua anak kecil yang tanpa mempedulikanku langsung berlarian ke sana kemari setibanya kami di pelataran jam gadang ini. Dua wanita itu hanya mengangguk padaku lalu mereka segera menyusul kedua bocah itu, yang sekarang ikut bergabung dengan sekelompok anak seusia mereka yang sedang menyalami badut boneka Tiger—sahabat Winnie the Pooh yang ada di situ.

Aku terduduk lelah di tangga paling bawah menara jam gadang. Cuaca Bukittinggi hari ini cerah namun tidak terlalu terik. Sepertinya ideku membawa mereka mengunjungi jam Gadang ini tidak terlalu buruk. Walaupun di sini hampir tidak ada apa-apa—hanya sebuah jam besar di tengah kota, tetapi di depan sana ada pasar. Mungkin nanti dua perempuan itu akan memintanya membawa mereka ke sana. Perempuan sebagaimana kodratnya pasti suka belanja.

“Duduk-duduk aja, ga mau ikutan main sama mereka?”

Tiba-tiba suara Tari mengejutkanku.  Tari adalah salah seorang dari perempuan yang bersamaku ke jam gadang ini hari ini. Aku tersenyum lalu menggeleng.

“Capek ya kamu, nih minum dulu..” Tari mengulurkan sebotol air mineral dingin padaku. Aku mengangguk berterimakasih lalu segera meneguknya.

“Aku senang main sama mereka. Fina dan Arsya. Mereka lucu dan menyenangkan.”

Tari tertawa kecil sambil memandang ke arah dua bocah tadi yang kini sedang berebut balon. Aku memandang Tari dari samping. Cantik. Tanpa sadar aku meraih tangannya dan menggengamnya.

“Aku yakin kamu pasti bisa jadi ibu yang baik untuk mereka.” Kataku.

Wajah Tari merona sesaat, namun lalu ia menggeleng.

Percuma Mas, kalau hanya kamu yang yakin..”

“Anak-anak juga yakin kok. Mereka menyayangimu.” Potongku sebelum Tari menyelesaikan ucapannya.

Bukan itu..”

Tari ragu melanjutkan ucapannya. Lalu ia memandangku lekat. Seperti mencari-cari alasan untuk menampik semua pernyataanku.

“Tari!”

Suara panggilan yang cukup keras mengejutkan kami. Hampir bersamaan kami menoleh kea rah suara itu. Ternyata dari tadi Amak*) memperhatikan kami.

“Saya ajak kamu ke sini bukan supaya kamu bisa mesra-mesraan sama anak saya ya Tari. Tapi untuk jagain cucu-cucu saya. Eh malah kamu biarkan saya mengurus mereka.”

Maaf Mak.. Tari tadi hanya mau ngasih minum untuk Mas Amar.” Tari menunduk, lalu segera permisi untuk menghampiri Fina dan Arsya.

Aku bangkit hendak menyusul Tari, tapi Amak segera menahanku.

“Jadi kamu mau menentang Amak, Mar?”

Aku menghela napas.

“Mak, sudah berkali-kali Amar jelaskan. Amar cinta Tari Mak, seperti Amar cinta pada almarhum Mirna. Kenapa Amak benci sekali pada Tari?Amar tak mengerti sikap Amak..”

“Tari itu berbeda dengan Mirna, Mar. Tari itu tak pantas untukmu Mar. Buat malu keluarga kita saja nantinya. Sudah sudah, Amak malas membahas ini lagi. Sudah Amak katakan kan dari dulu jangan sampai jatuh cinta pada gadis Jawa. Begini kan jadinya..”

Mak..”

DONG! DONG!DONG!

Dentang lonceng jam gadang menunjukkan pukul empat. Kulihat dari kejauhan Tari menuntun kedua anakku untuk menghampiri aku dan Amak. Sorot mata Tari masih menunjukkan ketakutan. Gadis lembut seperti dia memang tidak terbiasa dibentak seperti tadi oleh Amak.

“Cepat Tari, sudah sore!!” Amak berseru pada Tari tak sabar.

Setengah berlari Tari menuntun Arsya sambil menggendong Fina. Kuambil alih Fina dari gendongan Tari setelah mereka mendekat.

“Amar, nanti malam antar Tari ke bandara. Amak sudah siapkan tiket pulang untuknya ke Jogja.”

Tari terkejut. Tidak menyangka, baru saja sehari semalam ia menginjak tanah Minang ini untuk bertemu keluargaku dan sekarang ia akan dipulangkan. Ia memandangku sedih sekaligus meminta perlindungan. Aku menggeleng padanya.

Kata-kata Amak tegas, tak terbantahkan. Aku pun terdiam pasrah tak mampu melawan.

Mungkin memang mustahil untukku dan Tari mengharapkan lampu hijau dari Amak untuk kelanjutan kisah cinta kami.


*) Amak : panggilan ibu dalam bahasa Minang


PS : Makasih untuk kakak cantik yang udah mau sharing kisah cintanya ;;) 

6 comments:

  1. Duh, ortu model gini nih yg terlalu konvensional. Kasian Amar dan Tari. Nice story. :)

    ReplyDelete
  2. Ahihihi.. Suka nih idenya.. ;D

    ReplyDelete
  3. Kasihan Amar dan Tari

    ReplyDelete
  4. Semoga orang tua kita tidak seperti ini, terlalu konservatif... amiin..

    ReplyDelete
  5. Hahaha, jangan2 si Amar udah mau dijodohin kayak cerita siti nurbaya. tp byk kok skrg yg prkawinan minang & jawa, hehehe.. good one, bun :)

    ReplyDelete
  6. hoho makasih komennya teman2..

    Amin.. smoga kita tdk mengalami seperti ini..

    Mbanis : Tapi masih byk jg konvensional mba.. secara yaa kampusku byk org minang jd byk denger cerita lah hihihi

    ReplyDelete

Leave your comment please.. thank you ;)