"Mia sebel... Mia ga mau sekolah besok!!" jeritku sepulang sekolah sambil melempar tasku ke arahmu.
Kamu dengan sigap menangkapnya.
"Kok gitu? Emang kenapa? Cerita dong Mia.." Kamu duduk di sebelahku lalu mengusap-usap rambutku.
"Mia sebel sama temen-temen Mia.. suka nyubitin pipi Mia.. kan sakit.."kataku perlahan sambil cemberut, pasti pipiku tambah tembam nih.
"Itu aja?? Ga ada yang lain? ya ampun Mia..Mia.. hahaha" katamu sambil tertawa geli dan membelalakkan matamu dengan jenaka.
Aku makin cemberut.
"Aaaaww.... sakitttt ayaaahhh...." teriakku. Kamu tiba-tiba mencubit pipiku, lalu menggendongku sambil mencium pipiku.
"Kalo udah dicium, ga sakit lagi kaan..." katamu masih dengan gayamu yang lucu.
Aku pun tak jadi marah dan tertawa bersamamu.
* * * *
Beberapa tahun kemudian...
Kita sedang bergandengan tangan memasuki gerbang kampus yang megah. Kampus yang jadi impian setiap anak-anak yang baru lulus sekolah.
"Duh Mia ga jadi kuliah di sini aja deh..." aku menatap sekelilingku.
Parkirannya penuh mobil bagus. Anak-anak yang datang dengan orang tuanya pun sepertinya dari keluarga berada. Pakaiannya pun bagus-bagus. Ah, aku minder.
"Kenapa? Mia kan udah belajar giat supaya keterima di sini. Sayang kan.." Katamu.
"Kata temen Mia kuliah kedokteran mahal Yah.. Mia kuliah di tempat yang murah aja deh.." jawabku.
Biaya kuliah kedokteran memang mahal, bahkan di fakultas negeri sekalipun. Rasanya tak tega membayangkanmu harus bekerja lebih keras lagi. Padahal aku tahu, perusahaan tempatmu bekerja hampir bangkrut.
Melihatku termenung, kamu berlutut di hadapanku sambil menggenggam tanganku.
"Mia.. Mia ga percaya sama ayah, kalo ayah bisa membiayai Mia sampai lulus? Coba bayangin, kalo Mia jadi dokter Mia kan bisa ngobatin kalo ayah sakit.. Enak kan kita ga perlu ke rumah sakit.." kamu berusaha membujukku.
"Mia percaya.. tapi Mia ga mau deh.. Mia mau bantuin ayah kerja aja, Mia jualan masakan Mia.. Siapa tau Mia bisa jadi kayak Farah Quin, masuk tivi.." kataku.
Kamu tertawa terbahak-bahak.
"Kalo gitu kamu jadi artis aja kalo pengen masuk tivi.. Lucu banget sih Mia ini.. Udah ah, pokoknya kamu tenang aja.. Buat Mia, apa sih yang engga.."
Lagi-lagi aku terkesan setiap kau membujukku dengan gayamu yang lucu itu.
Gaya khasmu, mengedipkan mata dengan jenaka lalu tersenyum lebar.
* * * *
Enam tahun berlalu..
Akhirnya tibalah hari sumpah dokterku. Setelah dua tahun yang lalu aku juga sudah wisuda sarjana.
Yang membuatku kesal hari ini,
Kamu ga datang.
Kamu harus menyelesaikan proyek di luar kota. Memang sejak aku kuliah kamu bekerja lebih keras. Kita pun jadi jarang bertemu. Aku sibuk, kamu pun sibuk. Namun kita selalu menyempatkan diri berkomunikasi, dengan apapun. Telepon, chatting, sms, semuanya. Seringnya sih aku mengeluh padamu namun lagi-lagi setiap melihat senyummu (yang kulihat dari webcam), aku jadi semangat lagi.
Ah, sedih rasanya di saat teman-teman yang lain didampingi orang tuanya sementara aku sendirian. Pacarku pun sedang sibuk berfoto dengan keluarganya.
Acara sudah selesai, pulang aja ah, pikirku.
"Tebaaakk... ini siapaaa???" Tiba-tiba mataku ditutup oleh sepasang tangan yang kasar, dan suara ini.. suara khas kamu.
"A- yaaaahhhh....." kataku setengah tak percaya.
Kamu pun membuka mataku. Kamu berdiri di hadapanku dengan kemeja lamamu dan sebuket bunga. Ah, juga dengan senyummu.
"Ayah dataaaangg..." aku memelukmu erat.
"Selalu ada kejutan untuk kesayangan ayah. Selamat ya dokter Mia.." Kamu mengecup keningku dan balas memelukku.
"Awww ayah, make up aku luntur deeehh.." gerutuku saat kamu mencubit pipiku.
Kamu berlari menjauhi pukulanku.
"Biariiin... hahaha" Kamu tertawa-tawa mengejekku. Aku pun ikut tertawa.
* * * *
"Ayah, liat deh apa ya yang kurang?" tanyaku sambil berputar-putar di hadapanmu dengan gaun putihku.
Ini hari pernikahanku.
Kamu, dengan gaya sok berpikir menatapku.
"Hmmmm... kurang, kurang cantik. Kamu masih kalah cantik dengan almarhum Bunda, Mia..hahaha.. aduuuhh ayah bercandaa..." Kamu tertawa-tawa sambil menghindar dari cubitanku.
"Ayah, kenapa ayah menerima lamaran Mas Bima?Ayah yakin melepas Mia sama dia?Kenapa?" tanyaku.
Ayah tersenyum.
"Karena, waktu ayah lihat kamu sedang bersama dia, ayah melihat kamu bisa tersenyum seperti ketika kamu bersama ayah.."
* * * *
Lima tahun kemudian, di rumah sakit . . .
"Ayah... ayah jangan pergi..."tangisku di samping tempat tidur tempatmu terbaring lemah.
Sudah satu minggu ini kamu dirawat karena kanker paru dan diabetes yang bertahun-tahun telah menggerogoti tubuh kokohmu. Padahal aku selalu mengingatkanmu untuk berhenti merokok dan menjaga pola makanmu. Tapi apa daya, pekerjaanmu dan lingkunganmu tidak mendukungmu untuk menuruti kata-kataku.
Kamu mengusap-usap rambutku. Rasanya masih seperti dulu, saat kamu membujukku yang ingin tidak masuk sekolah. Hanya saja bedanya sekarang tanganmu sudah keriput dan lemah.
Yang tak berubah adalah senyummu.
"Maafin ayah ya Mia.. Tugas ayah sudah selesai. Janji ayah sama bunda dulu sudah ayah penuhi. Sekarang Mia sudah jadi dokter, sudah punya anak yang lucu, sudah punya suami yang menyayangi dan menjagamu. Ayah sekarang kangen sekali sama bunda.. Ayah mau ketemu bunda.."katamu lemah tapi masih dengan senyum khasmu.
"Mia ikut.. Mia mau ikut ayah aja ketemu bunda.."tangisku makin pecah. Suami dan anak semata wayangku di sampingku mengusap-usap rambut dan bahuku.
"Mia di sini aja. Nanti kalau sudah saatnya, ayah dan bunda akan jemput Mia kok.." tangan keriputmu berusaha mengusap air mataku.
"Ayah ingin lihat Mia tersenyum sebelum ayah pergi.."
Setelah berkata begitu, kamu pun pergi selamanya. Matamu perlahan menutup. Tanganmu perlahan jatuh lunglai.
Ayah, terimakasih..
Kuberikan senyumku untukmu ayahku yang lucu :)
–tulisan ini untuk #15HariNgeblogFF, hari ke10 , untuk ayahku dan ayah kalian, juga untuk kalian yang sayang ayah
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)