Tepukan tanganmu mengiringi petikan gitar di akhir lagu yang kumainkan untukmu. Sudah menjadi rutinitas setiap pagi sejak beberapa bulan ini aku menemuimu di kamarmu, dan memainkan lagu-lagu dengan gitarku sambil duduk di samping tempat tidurmu. Sementara kamu berbaring di sisiku mendengarkan nyanyianku.
“Bagus banget.. kali ini judulnya apa?”tanyamu sambil meraih kertas-kertas bercoretkan kunci-kunci gitar yang tersebar di sekelilingku.
“Belom ada judulnya nih..bingung..”jawabku sambil menatapmu yang sedang membaca lirik lagu yang kumainkan tadi.
“Gimana sih.. masa untitled gitu judulnya..hehe” katamu sambil tertawa.
Ah, aku selalu suka suara tawamu. Berderai lembut dan merdu. Caramu tertawa pun aku suka. Kamu selalu menutup mulutmu saat tertawa, sopan sekali menurutku.
Tak hanya tawamu. Aku pun suka saat kau marah, dengan mata bulatmu yang melebar. Aku juga suka rambutmu, hitam dan panjang lurus tergerai melewati bahumu. Aku bisa mencium wangi bunga-bunga saat kau kibaskan rambutmu ketika berada di dekatku. Ingin rasanya aku membelai rambutmu.
Namun aku tak bisa.
“Hei, malah bengong..mikirin apa sih?” Kamu membuyarkan lamunan indahku tentangmu.
Tiba-tiba saja wajah cantikmu sudah berada lima senti dari wajahku. Bibir indahmu seolah merayuku.
Ya Tuhan, aku ingin sekali menciummu. Tapi lagi-lagi aku tak bisa. Aku tak boleh menyentuhmu. Tuhan kuatkan aku.
Akhirnya aku hanya balas menatapmu. Kamu tersenyum. Menatapku lembut, kemudian membelai-belai rambutku.
Ingin rasanya kuhentikan waktu.
Andai saja dapat kukatakan bahwa kamu adalah inspirasiku. Setiap gerak-gerikmu adalah sumber inspirasi rangkaian kata dan melodi yang kuciptakan. Tentu saja hanya untukmu.
“Ini bukan judul terakhir kan?”
Kali ini kamu membereskan kertas-kertas laguku yang berserakan di tempat tidurmu lalu membacanya lagi.
Aku diam. Tak menjawab pertanyaanmu.
Tidak, tentu saja ini bukan judul lagu terakhirku. Mungkin memang ini akhir pertemuan kita tapi aku akan tetap membuatkan lagu untukmu.
“Tentu saja tidak.. Aku akan tetap membuatkan lagu-lagu.. untukmu..”jawabku perlahan. Kulihat kamu terkejut menatapku.
“Dokter! Jangan becanda.. Besok kan dokter mau menikah.” Kamu mendelik ke arahku.
Sungguh, aku sudah tak peduli lagi. Aku harus mengungkapkan perasaan ini. Kudekatkan wajahku kepadamu dan kucium lembut bibir merahmu. Kunikmati setiap detik ini. Kamu pun tak menolaknya dan membalas ciumanku.
“Aku cinta kamu, Diana. Maafkan aku bila ini menyakitimu.” Akhirnya.. aku bisa mengatakannya.
Matamu berkaca-kaca.
Brak! Tiba-tiba pintu kamarmu dibuka.
“Ah, maaf..Dokter Andre ada di sini ternyata.. Pasien di bangsal elang ngamuk dok, tolong dilihat dok.. Ayo Diana, sudah waktunya minum obat..” seorang suster memasuki ruangan membawa obat-obatan yang harus kamu minum.
Inilah yang membuat kita tidak bisa bersatu. Aku, dokter Andre spesialis jiwa yang sudah bertunangan dan besok akan menikah. Kamu, Diana, pasien skizofrenia yang sedang kutangani.
Aku bangkit dari tempat tidurmu.
“Baik, terima kasih suster.” Kubereskan gitar dan kertas-kertas laguku, bersiap-siap meninggalkan kamarmu.
“Nah, saya pergi dulu ya Diana. Istirahat ya.. Nanti saya akan datang lagi.” Pamitku namun tidak menatapmu.
Aku tak ingin merindukan mata itu nanti jika kita tak bisa bertemu lagi.
“Ternyata memang judul yang terakhir ya dok.. Semoga dokter bahagia dengan judul yang baru besok..” suaramu terdengar getir.
Tak menjawab, segera kukeluar dari kamarmu.
Maaf Diana, mungkin bukan kamu yang tidak waras. Akulah yang seharusnya dirawat karena ketidakwarasanku mencintaimu.
jadi kangen sama pasien-pasien di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Grogol :(
No comments:
Post a Comment
Leave your comment please.. thank you ;)