Musi river, Ampera bridge - southern Sumatra |
Setelah beberapa tahun aku tidak datang ke kota
ini, ternyata begitu banyak perubahan yang terjadi. Ada
pemandangan baru di tepian Sungai Musi ini. Ada puluhan orang yang terlihat
duduk santai di dermaga beton. Ada yang sekedar menikmati indahnya sungai,
berpacaran bahkan ada juga yang memegang tangkai pancing, yang kailnya
berkali-kali terombang-ambing gelombang setiap ada getek melintas. Selain itu
tampak anak-anak kecil bermain air dengan riang di undak-undakan yang ada di
bawah dermaga. Meskipun air sungai itu tak lagi jernih warnanya dengan beberapa
tumpukan enceng gondok, tetapi anak-anak itu tampak sangat menikmatinya.
Segera kuparkir mobil rental
yang kusewa begitu tiba di kota Palembang ini. Aku melirik jam tanganku lalu
memandang langit. Syukurlah langit masih terang meski telah menjelang petang. Karena
jika sudah gelap aku tidak bisa mengerjakan tugasku. Lekas kuambil tas yang
berisi perlengkapanku dari dalam mobil dan menuju dermaga.
Syukurlah meski ramai,
kutemukan juga tempat yang cukup nyaman untukku bersandar dan menikmati
pemandangan di sekitar sungai ini. Kukeluarkan buku sketsa dan pensil dari
tasku. Jika saja tidak ada tugas dari atasan di kantorku untuk menggambar
pemandangan di sungai Musi ini mungkin aku tak akan pernah lagi menginjakkan
kaki di kota kelahiranku ini.
Aku memandang pemukiman
penduduk yang ada di seberang tempatku berada saat ini. Masa kecil kuhabiskan
di sana. Rumah keluargaku terletak di antara rumah-rumah kecil di pinggiran
sungai Musi ini. Jika angin sedang kencang, aku dan teman-teman akan bermain
layang-layang. Jika sudah bosan kami akan memancing, bermain air, atau menikmati
pemandangan senja dari tepian sungai.
Senja..
Tiba-tiba aku teringat Jingga.
Ah, kugelengkan kepalaku dan berusaha melupakan. Lebih
baik aku segera menggambar, karena semburat oranye mulai tampak di ufuk barat. Kugoreskan
coretan-coretan kasar di buku sketsaku. Dalam waktu singkat jembatan Ampera
yang berdiri kokoh di atas aliran sungai Musi serta pemandangan di sekitarnya telah berpindah ke bukuku. Aku tersenyum
puas. Tinggal mengambil beberapa gambar dari kamera SLR-ku maka selesailah
tugasku.
Tanpa sadar tiba-tiba mataku menangkap sosok wanita di
seberang sana. Seorang gadis desa berpenampilan sederhana. Rambutnya digelung
ke atas dengan menyisakan anak-anak rambut yang dibiarkan terurai bebas. Sehelai
selendang jingga menutupi rambut dan wajahnya sebagian. Bahkan dari jarakku ini
aku dapat menilai wanita itu … cantik.
Segera kupindahkan sosok wanita itu dalam gambar yang baru
saja kuselesaikan. Tak puas, kuberalih ke kertas lain. Kugambar sosok wanita itu lagi namun kini dalam berbagai pose. Memang yang paling menyenangkan itu adalah menggambar
wanita cantik.
Kualihkan kembali pandanganku ke seberang. Wanita itu sudah
tidak ada. Cepat sekali ia menghilang, gumanku kecewa. Kupandangi lagi sketsa
wanita itu. Sepertinya aku sangat familiar dengan sosoknya. Kepalaku tiba-tiba
sakit saat mencoba mengingatnya. Oh Tuhan, jangan lagi.. Aku tersadar, sosok itu mirip Jingga. Gadis teman
masa kecilku, juga seseorang yang pernah kucintai.
“Kamu udah yakin mau ikut pindah ke Jakarta? Ga mau tinggal
di sini aja?” tanya Jingga waktu itu.
Ia mengantarku sampai ke dermaga. Aku menggangguk ragu. Pekerjaan
Ayah yang membuat kami sekeluarga harus meninggalkan kota ini.
“Mau gimana lagi. Eh, kamu ga mau ikut aku? Kita bisa tetap
sama-sama di sana.”
Jingga menggeleng. “Aku tunggu kamu di sini aja.”
“Baiklah. Aku pasti kembali kok.” Kataku berjanji seraya
mencium keningnya.
Nyatanya, aku tak pernah kembali.
Malahan Jingga yang menyusulku ke Ibukota. Itupun bukan
atas keinginannya. Jingga datang bersama keluarganya untuk memenuhi undangan
pernikahanku. Kulihat kekecewaan terlihat jelas di mata indahnya. Bodohnya aku
juga tak berani menatap matanya saat bersalaman dengannya.
Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengannya.
Kini, takdir pun membawaku kembali pulang dan hampir
bertemu lagi dengannya.
Sungguh dalam hati kecilku masih tersimpan cinta untuknya.
Mungkin aku seharusnya menemuinya dan meminta maaf padanya. Ya, harus.
Cepat-cepat kubereskan peralatanku ke dalam tas. Setengah
berlari aku menuju perahu kecil yang akan menyeberang. Seorang bapak tua yang
akan menjalankan perahu kayu itu mempersilahkanku naik. Beruntung masih ada
tempat untukku. Dalam hati aku berdoa, semoga saja wanita itu di seberang tadi memang
benar Jingga dan aku dapat dengan mudah menemukannya. Karena aku sudah lupa dimana
letak rumah keluarganya. Mungkin nanti aku dapat bertanya pada orang-orang di
sana.
Perahuku hampir sampai di seberang. Kulihat langit mulai
berwarna oranye kemerahan. Senja telah menampakkan diri. Aku dan beberapa orang
di perahu berdecak kagum. Sungguh indah lukisan Yang Maha Kuasa. Segera
kuabadikan momen berharga ini dengan kameraku.
Makin lama warna merah di ujung langit itu makin jelas… namun
disertai asap hitam membumbung tinggi. Si bapak tua menghentikan kayuhannya.
Aku dan orang-orang di perahu terpana melihat kobaran api yang begitu cepat
melahap pemukiman di sepanjang sungai itu.
Sempat kulihat selendang Jingga menari-nari di ujung senja.
Tanpa sadar, mataku basah.
so sad :'(
ReplyDeletegood job, kaYuuuu... :)
Sedih banget, Ayu.
ReplyDeleteHwaaaaaa.. mewek!
ReplyDelete