Pages

Friday, February 3, 2012

WHAT CAN I DO?

: Reza


"Ta.. tunggu Ta.." nafasku tersengal-sengal karena berlari mengejar perempuan yang sekarang berdiri di hadapanku ini. Akhirnya dia berhenti juga. Namun hei, dia hendak menyetop angkutan umum yang lewat. Segera aku tarik tangannya. Dia menepisnya.

"Biarin Za.. Aku mau pulang sendiri aja.. Aku .."

"Ta, sabar dulu Ta.. Tenang dulu.. Kamu ga bisa pulang dengan keadaan kayak gini. Ayo sini duduk dulu.." aku memotong perkataannya dan menariknya ke bangku halte yang ada tak jauh dari tempat kami berada.

"Nah! duduk dulu.. Aku bawa minum nih.. ayo minum dulu" kuberikan sebotol air mineral yang kubawa padanya. Dia menghela napas dan meminumnya sampai tersisa setengahnya.

Aku duduk di sebelahnya. Wajah perempuan cantik ini kembali sendu. Ah, sebenarnya sejak dulu aku sudah sering melihatnya sedih seperti ini. Ya, aku lah yang menghapus air matanya, memeluknya, menenangkannya jika dia sedang bersedih seperti sekarang ini. Tapi kejadian yang hari ini menimpanya dan melihatnya berwajah seperti ini membuat emosiku benar-benar naik.

Kurang ajar emang si Rama. Harusnya tadi kuhajar dia dulu. Beraninya menyakiti perempuan ini, batinku kesal. 

Aku menyesali kebodohanku yang tidak menyadari perselingkuhan Rama dari awal. Ya, pacar perempuan ini ternyata dekat dengan salah seorang seniorku. Sebenarnya aku sudah lama mendengar gosipnya. Tetapi karena aku pikir hanya gosip semata jadi aku tidak terlalu ambil pusing. Toh selama ini aku mendengar hubungan Rama dengan perempuan ini baik-baik saja walau terpisah jarak. Mungkin seharusnya aku menanyakannya pada perempuan ini. Pantas saja belakangan ini aku lihat status facebook, update twitter dan isi blog nya selalu bersedih. Mungkin saja dia sudah merasakan ada yang aneh dengan pacarnya di sini. Ah, sahabat macam apa aku ini, seperti tidak peduli padanya. Padahal dia menitipkan pacarnya padaku. Tapi hal sepenting ini malah aku tidak menyadarinya. Ah, maafkan aku Ta..

"Bukan salah kamu kok Za.." Nah ini dia. Persahabatan kami yang telah berlangsung lama terkadang membuat kami bisa membaca pikiran satu sama lain. Dia tahu bahwa aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini.

"Maafin aku ya Ta.. ga bisa bantu apa-apa"

Perempuan bernama Sinta ini menggeleng lalu tersenyum menatapku. Tak tampak air mata mengalir di pipinya. Namun wajahnya jelas menyiratkan luka yang dalam. Aku ga sanggup melihat kamu berwajah seperti ini Ta.. lebih baik kamu menangis daripada berpura-pura tegar begini.

"Kamu ada di sini nemenin aku itu udah cukup membantu kok" setelah berkata begitu mata indahnya kembali menerawang.


"Ta, kok ga nangis sih?Aku justru khawatir kalo kamu ga nangis gini.. jangan sok tegar gitu deh.. ah boleh ya Ta aku balik ke tempat si Rama tadi.. kamu mau aku apain dia? Tonjok?Hajar sampai babak belur?Atau apa Ta?"emosiku benar-benar tak tertahankan.

Sinta tertawa. Kenapa malah tertawa?

 "Kamu serem ah Za.. sabar..ga usah dibales.. ntar juga dia kena batunya kok.." Sinta menepuk-nepuk bahuku. Kenapa malah dia yang menyuruhku sabar?. Dasar aneh.

Sinta melihat jam tangannya. Lalu berdiri.


"Udah ya, aku boleh pulang sekarang?" tatapannya memohon padaku.


"Aku anter . . ."

"Ga usah Za.. aku naik taksi aja.. mau mampir dulu palingan.. ilangin stres hehe" Sinta memotong perkataanku cepat. Dasar keras kepala.

"Mampir kemana sih? kayak tau daerah sini aja..ntar malah nyasar.."


"Keretaku masih jam lima Za baru dateng.. mendingan jalan-jalan dulu kan.. rugi amat udah jauh-jauh ke sini.. udah yah, itu ada taksi lewat.." Sinta menyetop taksi biru yang baru saja lewat. Aku tak bisa mencegahnya.

"Makasih ya Za.." Dia melambai ke arahku. Aku tersenyum menatap kepergiannya.

------------------------------

Aku pertama kali bertemu dengan Sinta saat baru pindah sekolah ke ibukota. Aku masuk di kelas yang sama dengannya, dan aku ditempatkan duduk di sebelahnya. Dia ramah dan baik sekali. Aku langsung menyukainya. Aku memang tidak terlalu bisa bergaul. Sinta lah yang mengenalkanku dengan teman-temannya, mengajakku keliling sekolah bahkan mengajakku jalan-jalan keliling ibukota. Kedekatan kami sempat membuat para fans Sinta membenciku. Wajarlah mereka bersikap begitu, aku yang datang dari daerah bisa dekat dengan bintang sekolah seperti Sinta. Tapi Sinta seperti tak peduli. Maka aku pun ikut-ikutan cuek. Sampai akhirnya Sinta berpacaran dengan Rama. Aku sempat tak rela. Namun aku memang tak bisa memilikinya. Bukan, aku tak mau. Aku lebih senang dengan predikat 'sahabat' karena menurutku itu lebih abadi. Sepertinya pilihanku memang tepat. Terbukti sampai sekarang, dia masih menjadi sahabatku.

Pukul dua siang, aku sudah tidur-tiduran di kontrakan. Gerimis sedikit di luar. Aku teringat Sinta. Dimana dia sekarang?Sedang apa?Apa dia masih bersedih?. Kuambil ponselku dan mengirimkan pesan singkat untuknya. Tak berapa lama pesanku dibalas.

Di coffee shop, Za.. Namanya Priya's Coffee. I'm fine, kok. JANGAN NYUSUL YA.

Hmm kalau udah pakai capslock begini berarti dia benar-benar tak mau diganggu. Baiklah. Aku mengirim pesan balasan hati-hati padanya.
Aku masih berpikir, apa yang bisa kulakukan untuk menghibur sahabatku ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada foto aku dan Sinta yang kupajang di dekat televisi. Aku tersenyum, teringat sesuatu. Ya, ide bagus! Mungkin orang ini bisa membantu, bahkan justru orang ini yang akan kesenengan.. 

Dimana bro?
Satu pesan singkat kukirimkan. . .




*Fiksi-fiksi yang berhubungan dengan fiksi ini adalah "Malaikat Cintaku"dan "Finally I Found You"(Ada di novel THE COFFEE SHOP CHRONICLES)

No comments:

Post a Comment

Leave your comment please.. thank you ;)